Senja kala itu terasa lebih gelap dari biasanya. Langitpun
enggan menampakkan mega, seolah dia tau dua anak manusia yang sedang dirundung
pedih. Senja itu memberikanku satu pelajaran baru tentang hidup ini, tentang
hakikat cinta yang sesungguhnya. Diluar, mungkin banyak sekali yang
mendendangkan cinta itu tak harus memiliki. Dalam khayalku, kalimat tersebut
hanya sebuah klise, bagaimana bias cinta gak harus memiliki? Bagaimana bias rasa
yang membuncah di dadamu tak perlu mendapat sambut? Terlalu naif untuk mengecap
peristiwa itu, batinku dulu. Tapi, senja di petang itu seolah menamparku,
memuatku tersadar untuk sejenak kembali ke realita dan melupakan imajinasiku
sesaat. Tamparan yang kuat dan begitu hebat, hingga rasanya untuk bernafaspun
sesak, mendadak lidahpun kelu, tak mampu lagi berucap seolah ia lupa tugas yang
semestinya. Hanya rinai yang mampu menjelaskan semuanya. Rinai yang hanya aku
dan dia yang tahu. Kita berdua, seolah berlomba menyeruakkan sesak di dada. Bahkan setelah berjam – jam pun, rasanya tak
sanggup menebus rasa yang begitu menyesakkan ini. Seumur hidupku, inilah
peristiwa mengiris hati terhebat yang harus aku lalui. Seolah takdir tak
memberikanku untuk menyiapkan mental, dia dating tanpa permisi dan sekejab
membuat hidupku buram. Lebih muram dari sebelumnya. Ini bukan keegoisan,
pengobanan yang uacpkali sering diagung agungkan membuatku terus mempertanyakan
keberadannya. Apakah harus seperti ini? Apakah tdak ada cerita lain yang
sanggup kujalani? Batinku mencoba bernegosiasi kepada takdir. Namun, takdir tak
menghiarukan. Jalanilah semampumu, jawabnya dengan angkuh. Akupun tak bisa melebur bersama senja untuk pertama kalinya ~~