Kota Juwana merupakn
kota di pesisir utara Pulau Jawa yang terletak di jalur pantura yang
menghubungkan kota Pati dan kota Rembang. Kota Juwana merupakan kota terbesar
kedua di Kabupaten Pati setelah Pati. Di kota ini terkenal dengan industri
kerajinan kuningan dan pembudidayaan bandeng. Batas-batas kota
Juwana:
* Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Batangan.
* Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Jakenan dan kecamatan Pati.
* Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Wedarijaksa.
* Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Batangan.
* Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Jakenan dan kecamatan Pati.
* Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Wedarijaksa.
Juwana
merupakan daerah pesisir dan dataran rendah dengan tanah berjenis aluvial dan
red yelloy mediteran. Kota ini juga dilalui oleh sungai Juwana (disebut juga
Sungai Silugonggo) yang menjadi daerah aliran sungai Waduk Kedungombo. Sungai
terbesar di Kabupaten Pati ini tiap tahun mengakibatkan banjir termasuk di Kota
Juwana. Luas wilayah Kecamatan Juwana adalah 5.593 ha (55,93) km2.
Jumlah penduduk
Kecamatan Juwana sebanyak 87.484 jiwa (2006) yang terdiri atas 43.565 jiwa laki
– laki dan 43.919 jiwa penduduk perempuan. Kecamatan ini mempunyai banyak
lapangan kerja. Hal yang menjadi ciri khas Kecamatan Juwana adalah usaha
kerajinan logam kuningan yang sebagian besar terdapat di Desa Growong Lor dan
sekitarnya, serta usaha tambak perikanan di Desa Bajomulyo, Agungmulyo dan desa
– desa sekitarnya. Dua perusahaan kuningan terbesar dari kota Juwana adalah
Krisna & Sampurna. Pelabuhan Juwana menjadi salah satu tulang punggung kekuatan
perekonomian Kecamatan Juwana. Pelabuhan ini menjadi salah satu pintu masuk
kapal – kapal pengangkut kayu dari Kalimantan. Hasil tambak maupun tangkapan
nelayan yang didapat antara lain: bandeng, udang, tongkol, kakap merah,
kepiting, ikan pe, cumi.
Selain hal
diatas, Juwana juga dikenal sebagai icon budaya dan sejarah di Kabupaten Pati.
Banyak sekali kisah dan peninggalan sejarah serta kebudayaan yang tetap hidup
dan melekat erat di hati masyarakat hingga kini. Salah satunya adalah kegiatan
Ruwatan. Ruwatan yang akan dibahas pada kali ini adalah Ruwatan dalam
perspektif budaya. Didalam kegiatan gelar budaya ruwatan terkandung nilai
sosial, edukatif, rasa kebersamaan dalam banyak ragam perbedaan. Dan
pemberdayaan terhadap nilai – nilai potensi sumberdaya, kreatifitas manusia
serta ikut melestarikan budaya bangsa khususnya budaya Ruwatan. Ruwatan
mengandung makna mengevaluasi diri atas segala kesalahan yang disadari maupun
tidak disadari dimasa yang telah lalu. Sehingga dalam acara Ruwatan mrmiliki
makna untuk membersihkan diri, tidak hanya sekedar pembersihan lahir, lebih
utama adalah membersihkan batin, membersihkan sengkala (penghalang diri) dan
sukerta (kotoran dalam diri). Yang berakibat sering mengalami sial karena
sengkolo dan sukerto. Maksud diadakannya ruwatan ini adalah untuk meringankan
beban peserta sukerto yang mampu maupun tidak mampu, yang tidak dapat
melaksanakan sendiri. Artinya ruwatan dilakukan untuk meringankan beban
masyarakat. Tujuan pokok ruwatan, adalah untuk membuang kesialan hidup orang –
orang yang sedang dalam sukerta (susah). Orang – orang sukerta ini, menurut
cerita dalah orang – orang yang akan dimangsa oleh Bathara Kala sebagai
kekuatan penyeimbang hukum alam, karena orang – orang sukerta tidak selaras
atau harmonis dengan hukum alam yang sngat adil (prinsip Tuhan yang Mahaadil).
Dengan kata lain, para sukerta mengalami suatu peristiwa tidak sengaja, dan
perbuatan yang disengaja yang tidak sesuai dengan kodrat alam yang semestinya.
Prosesi spiritual ruwatan, juga sebagai upaya pelestarian tradisi dan budaya
nenek moyang masyarakat Jawa yang sudah turun temurun ribuan tahun silam.
Sebagai khasanah pelestarian kekayaan ragam budaya di tanah air. Ruwatan masih
merupakan bagian dari prosesi adat Jawa. Ruwatan itu adalah prosesi penyucian
diri seorang manusia agar kelak dirinya terbebas dari malapetaka. Tapi hanya
orang – orang tertentu yang menyandang predikat Sukerta saja yang diwajibkan
untuk diruwat.asal muasal prosesi ruwatan diceritakan dalam kisah pewayangan
lakon Murwakala, yaitu lahirnya Bathara Kala.
Selain itu di
suatu desa di Juwana terdapat suatu kebudayaan dimana penduduk asli desa itu
yang masih gadis diharamkan untuk memakai pakaian warna hijau pupus. Konon
katanya apabila kita memakai pakaian warna itu dapat mendatangkan pamali bagi
yang memakainya. Tradisi ini juga sudah turun temurun dari nenek moyang
terdahulu.
Dalam suatu
desa biasanya kita mengenal yang namanya sesepuh Desa. Sesepuh Desa bisa
dikatan sebagai pelopor berdirinya desa itu atau bisa dikatakan sebagai pendiri
desa. Dahulu kala sesepuh Desa Kincir sangat kaya raya karena tanah yang subur
sehingga dapat memberikan hasil panen yang melimpah ruah setiap kali panen.
Tapi lain halnya dengan desa Kincir, di desa tetangga tanahnya tandus sehingga
hasil panen tidak dapat mencukupi kehidupan warga disana. Akhirnya karena
terdesak oleh keadaan tersebut, sesepuh desa tetangga akhirnya nekat untuk
mengambil hasil panen sesepuh desa Kincir. Namun rupanya Dewi Fortuna sedang
tidak berpihak kepadanya, ditengak aksinya mengambil hasil panen tersebut dia
tertangkap basah oleh sesepuh desa Kincir dan akhirnya terjadilah perang antar
sesepuh desa. Dari kejadian itulah hingga saat ini penduduk asli Kincir tidak
boleh menikah dengan penduduk asli Bakaran. Maka jika terjadi pernikahan,
pernikahan itu tidak akan awet. Akan ada sanak keluarga yang meninggal,
kemungkinan hidupnya miskin, atau bisa juga pasangan pengantin tidak akan
mendapatkan keturunan (mandul).
Sedangkan untuk
budaya berkomunikasi di Juwana yaitu hampir sama dengan komunikasi di daerah –
dearah lainnya. Yakni menggunakan bahasa jawa ngoko jika kita berbicara dengan
teman sebaya namun jika kita berbucara dengan orang yang lebih tua dari kita,
kita wajib menggunakan bahasa krama. Dilain sisi jika kita bertemu dengan
tetangga satu desa di jalan, kita kenal ataupun tidak dengan orang itu kita
wajib untuk menyapanya, walau hanya dengan senyuman saja. Karena apabila kita
tidak menyapa orang itu, kita akan jadi bahan perbincangan satu desa dan jika
di rumah kita ada kondangan ataupun acara maka warga sekitar tidak akan turut
membantu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar